Ibrahim
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah tertulis berisi rekaman yang sangat sporadis dan tidaklah lengkap,
demikian Gordon Childe menulis, “tentang apa yang telah manusia lakukan oleh di
pelbagai belahan dunia selama lima ribu tahun terakhir”. Idealnya sejarah ialah
rekaman tentang semua rentetan peristiwa yang telah terjadi, dan yang berfungsi
sebagai pengungkap segala sesuatu sesuai dengan fakta yang ada tanpa distorsi
sedikitpun, tapi pada kenyataannya, sejarah hanya mengungkap sebagian rentetan
peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari rekayasa yang biasanya
dilakukan oleh penguasa politik.
Meskipun fenomena semacam ini pernah terjadi, tetapi hal ini tidak bisa
dianggap sebagai persoalan remeh bahkan harus diluruskan, karena menyangkut dan
mempengaruhi warna kehidupan generasi selanjutnya sebagai aktor sejarah
berikutnya. Apalagi sejarah yang dimaksud adalah tentang ilmu pengetahuan yang
merupakan faktor penting di dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, perlu
adanya usaha yang sungguh-sungguh serta tanggung jawab moral dan akademik dalam
upaya pemaparan sejarah.
Sebelum memaparkan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, penulis harus
mengungkap sekilas tentang perbedaan antara pengetahuan dan ilmu agar tidak
terjebak pada kesalahpahaman mengenai keduanya, sehingga pembaca bisa memahami
dengan benar apa yang dimaksud dengan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
dalam makalah ini. Ilmu adalah bagian dari unsur pengetahuan yang
terklasifikasi, tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya
secara empiris. Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang
belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat dikatakan,
pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah
merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan
mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada pengetahuan, tapi tidak serta
merta berarti bahwa semua ilmu adalah pengetahuan.
BAB II
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
A. Ilmu
Pengetahuan Zaman Purba
Secara garis besar, Amsal Bakhtiar mengklasifikasikan periode sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode : pada zaman Yunani kuno,
pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.
Periodeisasi ini mengandung tiga kemungkinan. Yang pertama, menafikan adanya
pengetahuan yang tersistem sebelum zaman Yunani kuno. Kedua, tidak adanya data
historis tentang adanya ilmu sebelum zaman Yunani kuno yang sampai pada kita.
Ketiga, Bakhtiar sengaja tidak mengungkapnya dalam bukunya. Jika kemungkinan
pertama yang terjadi, maka informasi dari teks-teks agama tentang nama-nama
yang dia ketahui, Adam misalnya, tidak termasuk ilmu tetapi hanya pengetahuan
belaka. Apabila kemungkinan kedua yang benar, maka bukan berarti pengetahuan
yang tersistem hanya ditemukan dan dimulai pada zaman Yunani kuno, tetapi ia
sudah ada sebelumnya hanya saja informasinya tidak sampai pada kita. Tapi, jika
kemungkinan ketiga yang berlaku, maka penulis perlu mengungkapnya meskipun
hanya sekilas karena keterbatasan referensi yang ada pada penulis.
Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat disusur sampai pada permulaan
manusia. Tidak diragukan lagi bahwa adanya manusia purba telah menemukan
beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk bisa mengerti
keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal juga dengan masa pra-sejarah. Menurut
Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, masa sejarah dimulai kurang lebih 15.000
sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini pengetahuan manusia berkembang
lebih maju. Mereka sudah mulai bisa membaca, menulis, dan berhitung. Kebudayaan
mereka juga berkembang di berbagai tempat tertentu, yaitu : Mesir, Tiongkok,
Babilonia, Niniveh, Inca dan Maya di Amerika Tengah. Mereka sudah bisa
menghitung dan mengenal angka. Meski agak berbeda dengan pendapat tersebut,
Muhammad Husain Haekal (1888-1956) berpendapat lebih spesifik bahwa sumber
peradaban sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu (berarti sekitar 4000 SM)
adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan ke dalam kategori prasejarah. Oleh
karena itu, sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai permulaan zaman sejarah dan zaman
pra-sejarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu telah lahir seiring dengan
adanya manusia di muka bumi, hanya saja penamaan biasanya muncul belakangan.
Penekanan akan kegunaan cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya. Teori
ini berlaku secara umum terhadap beberapa -untuk tidak dikatakan semua-
disiplin ilmu dari generasi ke generasi. Dengan berbekalkan otak, pengalaman,
dan pengamatan terhadap gejala-gejala alam, mereka sudah barang tentu memiliki
seperangkat pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi kehidupan.
Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin tersusun rapi karena
memang inilah karakteristik dasar ilmu. Jika kita menafikan adanya ilmu
tertentu yang mereka miliki, maka kita akan kesulitan menjawab pertanyaan :
mungkinkah mereka mampu bertahan hidup bertahun-tahun tanpa bekal apapun ?.
Selanjutnya Mouly menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap
pernyataannya sebagai berikut ini : Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang
tercatat pada lembaran sejarah dilakukan oleh Mesir, di mana banjir sungai Nil
yang terjadi setiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak,
geometri, dan kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa
Babilonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun
tidak se-insentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu, muncul bangsa
Yunani yang menitik-beratkan pada pengorganisasian ilmu, di mana mereka bukan
saja menyumbang perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem
klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi
penjabaran secara deduktif akan pengalaman manusia.
Peradaban Mesir kuno misalnya, mewariskan peninggalan-peninggalan bermutu
tinggi seperti piramida, kuil, dan sistem penatanan kota.
Peninggalan-peninggalan tadi tidaklah mungkin ada tanpa adanya ilmu yang mereka
miliki. Proses pembangunan piramida yang menjulang tinggi dan tersusun dari
batu-batu besar pilihan tidak bisa lepas dari matematika dan arsitektur. Begitu
pula dengan proses pembangunan kuil megahnya. Sementara itu, sistem penataan
kota membutuhkan arsitektur & administrasi pemerintahan. Dengan kata lain,
peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut menunjukkan adanya ilmu-ilmu
tertentu yang mereka miliki sehingga mereka bisa mewujudkan impian mereka
menjadi kenyataan. Menurut Haekal, Mesir adalah pusat yang paling menonjol
membawa peradaban pertama ke Yunani atau Rumawi.
Sementara itu, menurut Betrand Rusell, Babilonia melahirkan beberapa hal
yang tergolong ilmu pengetahuan, yaitu : pembagian hari menjadi 24 jam,
lingkaran menjadi 360 derajat, penemuan siklus gerhana yang memungkinkan
terjadinya gerhana bulan bisa diramalkan dengan tepat dan gerhana matahari
dengan beberapa perkiraan. Pengetahuan bangsa Babilonia akhirnya sampai ke
tangan Thales, seorang filosof Yunani.
B. Ilmu
Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat. Saat kata Yunani disebut, maka
yang terbersit di pikiran para peminat kajian keilmuan dapat dipastikan adalah
filsafat. Padahal filsafat di dalam pengertian yang sederhana sudah ada jauh
sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di
tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga sekali bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka
pintu-pintu beraneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga
sekarang. Sehingga wajar saja bila generasi-generasi setelahnya merasa
berhutang budi, termasuk juga umat Islam di abad pertengahan masehi bahkan
hingga sekarang. Tanpa mengkaji warisan filsafat Yunani rasanya sulit bagi umat
Islam kala itu merengkuh zaman keemasannya. Begitu juga orang Barat tanpa
mengkaji pengembangan filsafat Yunani yang dikembangkan oleh umat Islam rasanya
sulit bagi mereka membangun kembali peradaban mereka yang pernah mengalami
masa-masa kegelapan menjadi sangat maju / mengungguli peradaban-peradaban besar
lainnya seperti sekarang ini.
Periode filsafat Yunani merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah
peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia
dari mitosentris menjadi logosentris. Dan dari proses inilah kemudian ilmu
berkembang dari rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk
teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri
poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia
menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam
jagad raya.
Filsuf alam pertama yang mengkaji asal-usul alam adalah Thales (624-546
SM), setelah itu Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos (540-480 SM), Parmenides
(515-440 SM), dan Phytagoras (580-500). Thales, yang dijuluki bapak filsafat,
berpendapat bahwa asal alam ialah air. Menurut Anaximandros substansi pertama
itu bersifat kekal, tak terbatas dan meliputi segalanya yang dinamakan apeiron,
bukan air ataupun tanah. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan
berubah. Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah bukan bahannya,
melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang dengan Heraklitos,
Parmenides berpendapat bahwa realitas adalah keseluruhan yang utuh bersatu,
tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat bahwa bilangan adalah
unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah
genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar di dalam
pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan
kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika.
Jadi setiap filosof memiliki pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam
semesta. Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justeru
merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pendapat mereka
mengilhami generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian muncul beberapa filosof Sofis sebagai reaksi
terhadap ketidakpuasan mereka terhadap jawaban dari para filosof alam dan mengalihkan
penelitian mereka dari alam ke manusia. Bagi mereka, manusia adalah ukuran
kebenaran sebagaimana diungkapkan oleh Protagoras (481-411 SM), tokoh utama
mereka. Pandangan ini merupakan cikal bakal humanisme. Menurutnya, kebenaran
bersifat subyektif dan relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut
dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan dia tidak menganggap teori
matematika mempunyai kebenaran absolut. Selain Protagoras ada Gorgias (483-375
SM). Menurutnya, penginderaan tidak dapat dipercaya. Ia adalah sumber ilusi.
Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta karena akal kita
telah diperdaya dilema subyektifitas. Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup
terasa karena membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka tidak memberikan
jawaban final tentang etika, agama, dan juga metafisika.
Pandangan para filosof Sofis tersebut
disanggah oleh para filosof yang setelahnya, yakni Socrates (470-399 SM), Plato
(429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Menurut mereka, ada kebenaran
obyektif yang bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran
obyektif itu dengan menggunakan metode praktis dan dijalankan melalui
percakapan-percakapan. Menurutnya, kebenaran universal bisa ditemukan. Bagi
Plato, esensi memiliki realitas yang ada di alam ide. Kebenaran umum ada bukan
dibuat-buat bahkan sudah ada di alam ide. Filsafat Yunani klasik mengalami
puncaknya di tangan Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali membagi
filsafat pada hal yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis
(etika, ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah yang lantas menjadi
pedoman bagi klasifikasi disiplin ilmu di kemudian hari.
C. Ilmu
Pengetahuan Zaman Islam Klasik
Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fiqih, usul fiqih, dan teologi
sudah berkembang sejak masa-masa awal Islam hingga sekarang. Khusus dalam
bidang teologi, Muktazilah dianggap sebagai pembawa pemikiran-pemikiran
rasional. Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional berkembang pada zaman
Islam klasik (650-1250 M). Pemikiran ini dipengaruhi oleh persepsi tentang
bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur’an dan
hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui
filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di
Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak),
Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).
W. Montgomery menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir
diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Ada sebuah sekolah terkenal di
Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan
kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di
Jundisyapur, pusat belajar yang terpenting, melahirkan dokter-dokter istana Harun
al-Rashid dan para penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak
semacam inilah, para khalifah dan para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari
apa yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan
agar menerjemahkan sejumlah buku penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan
sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru
dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt al-Hikmah,
sebuah lembaga khusus penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, ada banjir
penerjemahan besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad
sembilan dan sebagian besar abad kesepuluh.
Buku-buku matematika dan astronomi adalah buku-buku yang pertama kali
diterjemahkan. Al-Khawarizmi (Algorismus) adalah tokoh penting dalam bidang matematika
dan astronomi. Istilah algorisme diambilkan dari namanya. Dia memberi landasan
untuk aljabar, dari istilah “algebra” yang diambil dari judul karyanya.
Karya-karyanya adalah rintisan pertama di bidang aritmatika yang menggunakan
cara penulisan desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab. Al-Khawarizmi
dan penerusnya menghasilkan metode-metode untuk menjalankan operasi-operasi
matematika yang secara aritmatis mengandung berbagai kerumitan, misalnya
mendapatkan akar kuadrat dari satu angka. Di antara ahli matematika yang
karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah al-Nayrizi atau
Anaritius (w. 922 M) dan Ibn al-Haytham atau Alhazen (w. 1039 M). Ibn Haytham
menentang teori Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan bahwa sinar visual
memancar dari mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan kebalikannya bahwa
cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di dalam bidang astronomi, al-Battani
(Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang luar biasa akuratnya pada
sekitar tahun 900 M. Ketepatan observasi-observasinya tentang gerhana telah
digunakan untuk tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun 1749 M. Selain
al-Battānī, ada Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Bitruji (Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ dikenal karena karyanya di bidang trigonometri sperik. Di bidang astronomi
dan matematika, ada juga Maslamah al-Majriti (w. 1007 M), Ibn Samh, dan Ibn Saffar. Ibn Abi
Rijal (Abenragel) di bidang astrologi.
Dalam bidang kedokteran ada Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Razi atau Rhazes (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932
M) , Ibn Sina atau Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M),
Abu Qasim al-Zahrawi (Abulcasis), dan Ibn Zuhr atau Avenzoar (w. 1161 M). Al-Hawi karya al-Razi merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran
sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia menyertakan pandangan-pandangan dari
para pengarang Yunani, Syiria, India, Persia, dan Arab, dan kemudian menambah
catatan hasil observasi klinisnya sendiri dan menyatakan pendapat finalnya.
Buku Canon of Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin pada abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa
setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abu Qasim -Zahrawi tentang operasi (pembedahan) dan alat-alatnya merupakan sumbangan yang berharga dalam bidang
kedokteran.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Hayyan (Geber) dan al-Biruni (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir
ibn Hayyan memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode
pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia
yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi.
Dalam bidang botani, zoologi, mineralogi, karya orang Arab mencakup
gambaran dan daftar berbagai macam tanaman, binatang, dan batuan. Beberapa di
antaranya memiliki kegunaan praktis, yakni ketika karya tersebut dihubungkan
dengan bidang farmakologi dan perawatan medis.
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni
logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina atau
Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Bajah atau Avempace (w. 1138
M), Ibn Tufayl atau
Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix
Klein-Franke, al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses
dan membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan
sulit, yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh
al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani
kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan
menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing. Menurut Betrand
Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat
Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru
lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik,
tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang
menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional,
para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di
Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat
pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah
terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan
atau renaisans.
D. Ilmu
Pengetahuan Zaman Renaisance dan Modern
Michelet, sejarahwan terkenal, ialah orang pertama
yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan lain biasanya menggunakan
istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya
di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Memang agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara
abad pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern. Bisa dikatakan abad
pertengahan berakhir kala datangnya zaman renaisans. Sebagian orang menganggap
bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans. Masa renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau
sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era
sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi
perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu : humanisme,
individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains berkembang
karena semangat dan juga hasil empirisisme,
sementara Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.
Tokoh penemu di bidang sains pada masa renaisans (abad 15-16 M): Nicolaus
Copernicus (1473-1543 M), Johanes Kepler (1571-1630 M), Galileo Galilei
(1564-1643 M), dan Francis Bacon (1561-1626 M). Copernicus menemukan teori
heliosentrisme, yaitu matahari adalah pusat jagad raya, bukan bumi sebagaimana
teori geosentrisme yang dikemukakan oleh Ptolomeus (127-151). Menurutnya, bumi
memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak
tahunan mengelilingi matahari. Teori ini melahirkan revolusi pemikiran tentang
alam semesta, terutama astronomi. Kepler adalah ahli astronomi Jerman yang
terpengaruh ajaran Copernicus. Dialah yang menemukan bahwa orbit planet
berbentuk elips; bahwa planet bergerak cepat bila berada di dekat matahari dan
lambat bila jauh darinya. Galileo adalah ahli astronomi Italia yang melakukan
pengamatan teleskopik dan mengukuhkan gagasan Copernicus bahwa tata surya
berpusat pada matahari. Inkuisi takut akan penemuannya dan memaksanya
meninggalkan studi astronominya. Dia juga berjasa dalam menetapkan hukum
lintasan peluru, gerak, dan percepatan. Dialah penemu planet Jupiter yang
dikelilingi oleh empat buah bulan.
Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern (abad 17-19 M):
Sir Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph Black (1728-1799
M), Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M), dan
J.J. Thompson. Newton adalah penemu teori gravitasi, perhitungan calculus, dan
optika yang mendasari ilmu alam. Pada masa Newton, ilmu yang berkembang adalah
matematika, fisika, dan astronomi. Pada periode selanjutnya ilmu kimia menjadi
kajian yang amat menarik. Black adalah pelopor dalam pemeriksaan kualitatif dan
penemu gas CO2. Prestley menemukan sembilan macam hawa No dan oksigen yang
antara lain dapat dihasilkan oleh tanaman. Lavoiser adalah peletak dasar ilmu
kimia sebagaimana kita kenal sekarang. J.J. Thompson menemukan elektron. Dengan
penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom adalah bahan terkecil dan
mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika yaitu fisika nuklir.
Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi,
ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara pada abad ke-19 lahirlah
pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi.
Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu
zaman kontemporer.
BAB
III
P E N U T U P
Tabel di atas belum mencakup semua ilmu pengetahuan, karena menurut Jujun
Suriasumantri, ilmu pengetahuan dewasa ini telah berkembang menjadi sekitar 650
cabang. Di samping sudah ada pemberdayaan antara ilmu-ilmu alam atau natural
science dengan ilmu-ilmu sosial, dikenal pula dengan pembedaan ilmu dan ilmu
terapan. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, menurut Chalmers, diperkirakan
sejak 400 tahun yang lalu, yaitu sejak Copernicus, Galileo, Kepler, dan yang
lebih jelas lagi sejak Francis Bacon pada abad ke-15 dan 16 sebagai ahli
filsafat ilmu yang mengemukakan perlunya suatu metode dalam mempelajari
pengalaman. Bacon menekankan bahwa eksperimen dan observasi yang intensif
merupakan landasan perkembangan ilmu.
Fakta-fakta di atas menunukkan bahwa perkembangan ilmu tidak bisa
dilepaskan dari rasa keingintahuan yang besar diiringi dengan usaha-usaha yang
sungguh-sungguh melalui penalaran, percobaan, penyempurnaan, dan berani
mengambil resiko tinggi sehingga menghasilkan penemuan-penemuan yang bermanfaat
bagi suatu generasi dan menjadi acuan pertimbangan bagi generasi selanjutnya
untuk mengoreksi, menyempurnakan, mengembangkan, dan menemukan penemuan
selanjutnya. Faktor-faktor inilah yang kemudian menjadi pemacu bagi pesatnya
perkembangan ilmu yang melatarbelakangi semakin cepatnya penemuan dalam bidang
teknologi yang kadang membuat sebagian orang terlena karenanya sehingga tidak
sadar bahwa sebagian ilmu yang disalahgunakan bisa menjadi ancaman serius bagi
kehidupan mereka.
Poin penting yang perlu dicatat di sini adalah pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan harus diimbangi dengan pengembangan moral-spiritual manusianya,
karena sebagaimana kita tahu, perkembangan ilmu pengetahuan selain berdampak
positif, ia juga berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positifnya
adalah semakin mempermudah kehidupan manusia, sementara dampak negatifnya
adalah semakin mengancam kehidupan mereka. Oleh karena itu, agar tatanan
kehidupan manusia di dunia ini tetap lestari, maka perkembangan ilmu mesti
diiringi dengan pengembangan moral-spiritual manusia itu sendiri. Perkembangan
ilmu tanpa pengembangan moral-spiritual bisa menjadi ancaman bagi kehidupan
manusia seperti yang bisa kita rasakan akhir-akhir ini yang berupa
penyalahgunaan teknologi nuklir. Demikian pula pengembangan moral-spiritual
tanpa diiringi perkembangan ilmu bisa menjadikan sebagian manusia kurang
kreatif seperti yang terjadi pada orang Kristen pada zaman kegelapan Eropa.
Dengan kata lain, antara otak dan hati harus mendapatkan porsi perhatian yang
seimbang. Sejarah sudah membuktikannya. Sejarah merupakan disiplin ilmu yang
memiliki validitas kebenaran yang tinggi sehingga layak dijadikan bahan untuk mengambil
pelajaran (ibrah).
Footnote
[1]Gordon Childe, What Happened in History
(Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975), 13.
[2]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), 16-17.
[3]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), 35-39.
[4]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 21-129.
[5]George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S.
Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1991), 87.
[6]Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi Offset Yogya, 2007), 117.
[7]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad
(Jakarta: Litera AntarNusa, 1996), 1.
[8]George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, 87.
[9]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 1.
[10]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan
Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 6.
[11]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 21-23.
[12]Ibid., 23-27. Lihat juga: Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005), 48-49.
[13]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 27-28.
[14]Ibid., 29-31.
[15]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2004), 257.
[16]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 43.
[17]Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan,
1998), 7.
[18]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia:
Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997), 44-45.
[19]Ibid., 47-50.
[20]Ibid., 51-52.
[21]Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan
pengaruh Abū Bakar Muḥammad ibn
Zakariyyā al-Rāzī bisa dibaca dalam: Lenn E. Goodman, “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003),
243-265.
[22]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia:
Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, 52-56.
[23]Ibid., 57-58.
[24]Ibid., 58.
[25]Ibid., 60-61.
[26]Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman
(Bandung: Mizan, 2003), 209-210.
[27]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan
Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang, 567.
[28]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Chapra, 125-126 dan Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 49-50.
[29]Ibid., 126.
[30]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 51-52.
[31]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 58.
[32]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 55.
[33]Ibid., 57-62.
[34]Ibid., 68-71.
[35]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 202.
[36]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 79.
[37]Ibid., 76-77.
[38]Henry Margenau dan David Bergamini, The Scientist
(New York: Time Inc., 1964), 86-99, yang diolah oleh Jujun Suriasumatri,
“Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri
(Jakarta: Gramedia, 1991), 14-15.
[39]Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian, 120.
Bibliografi
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Childe, Gordon. What Happened in History.
Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975.
E. Goodman, “Muḥammad ibn
Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed.
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. Bandung: Mizan, 2003.
Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman.
Bandung: Mizan, 2003.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad.
Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
Jasin, Maskoeri. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003.
George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S.
Suriasumantri. Jakarta: Gramedia, 1991.
O. Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2004.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998.
Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya
dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Soetriono. dan SDRm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset Yogya, 2007.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Chapra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Watt, W. Montgomery. Islam dan Peradaban Dunia:
Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar