Oleh: Moh. Nur
Afandi
A.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian
yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau dapat juga disebut common
sense). Orang awam tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu
pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua
pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan
akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti
mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula
membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu
kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari
Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan
dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang
spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat
ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita
dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain.
Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara
interdisipliner.
Perintisan
“Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena
peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai
abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum
Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi
logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah
pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit
atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak
bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat
rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh
faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia
dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia
dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal
sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah,
tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles.
Persepsi Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah
ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak
eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang
riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada
hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan
demikian dunia itu mandiri.
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal
dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut: 1) Hal Pengenalan, yang meliputi pengenalan inderawi; yang memberi
pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Dan pengenalan rasional, yang dapat mencapai hakekat
sesuatu melalui jalan abstraksi. 2) Hal Metode, menurut
Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip
atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning).
Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan
prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada
akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode.
Sebelum kita memahami ilmu pengetahuan lebih luas, maka
dalam makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan konsep-konsep dasar ilmu
pengetahuan yang meliputi pengertian, hakekat, sifat ilmu pengetahuan dan struktur
fundamental ilmu pengetahuan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian dan
Hakekat Ilmu Pengetahuan
Secara umum,
filsafat ilmu pengetahuan adalah sebuah upaya untuk memahami makna, metode,
struktur logis dari ilmu pengetahuan, termasuk juga di dalamnya kriteria-kriteria
ilmu pengetahuan, hukum-hukum, dan teori-teori di dalam ilmu pengetahuan.
Supaya lebih fokus, perlu dipertegas beberapa poin tentang filsafat ilmu
pengetahuan.
Ada berbagai
konsep yang digunakan secara khusus oleh seorang ilmuwan, tetapi tidak
dianalisis oleh ilmuwan tersebut. Misalnya, ilmuwan seringkali menggunakan konsep-konsep
seperti kausalitas, hukum, teori, dan metode.[1]
Ada berbagai macam definisi atau pengertian dari ilmu,
yaitu:
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi haqiqotih(mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science(berasal dari bahasa lati dari kata Scio, Scire yang berarti tahu) umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.[2]
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi haqiqotih(mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science(berasal dari bahasa lati dari kata Scio, Scire yang berarti tahu) umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.[2]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua pengertian[3]
:
1.
Ilmu
Pengetahuan diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut,
seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
2.
Ilmu
pengetahuan diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang soal
duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu
akhlak, ilmu batin, ilmu sihir, dan sebagainya.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu
merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, dengan
menggunakan metode-metode tertentu.
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi
merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan
dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam
bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena
manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya.
Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.[4]
Setiap aktivitas
ilmiah tentu bertolak dari konsep, karena konsep merupakan sebuah struktur
pemikiran. Sontag[5]
menyatakan bahwa setiap pembentukan konsep selalu terkait dengan empat
komponen, yaitu, kenyataan (reality), teori (teori), kata-kata (words),
dan pemikiran (thought). Kenyataan hanya akan merupakan sebuah misteri
manakala tidak diungkapkan ke dalam bahasa. Teori merupakan tingkat pengertian
tentang sesuatu yang sudah teruji, sehingga dapat dipakai sebagai titik tolak
bagi pemahaman hal lain. Kata-kata merupakan cerminan ide-ide yang sudah
diverbalisasikan. Pemikiran merupakan produk akal manusia yang diekspresikan ke
dalam bahasa. Kesemuanya itu akan membentuk pengertian pada diri manusia,
pengertian ini dinamakan konsep.
Daoed Joesoef
menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu: produk-produk,
proses, masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai Produk yaitu pengetahuan
yang telah diketahui dan diakui kebanarannya oleh masyarakat ilmuwan.
Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung
kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah
oleh seseorang.
Ilmu pengetahuan
sebagai Proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi
penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang
kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah
analisis-rasional, objektif, sejauh mungkin “impersonal” dari masalah-masalah
yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati. Bagi Thomas Khun
“normal science” adalah ilmu pengetahuan dalam artian proses.
Ilmu pengetahuan
sebagai Masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak-tanduknya,
perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan (imperative)
yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterstedness), dan
skeptisisme yang teratur.[6]
Van Meslen[7]
mengemukakan beberapa ciri yang menandai
ilmu pengetahuan yaitu: (1) Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai
suatu keseluruhan yang secara lohis koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian
(metode) maupun harus (susunan logis). (2) Ilmu pengetahuan tanpa pamrih,
karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung
jawab ilmuwan. (3) universalitas ilmu pengetahuan. (4) Objektivitaas,
artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif (5) Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi
oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus
dapat dikomunikasikan. (6) progresivitas artinya suatu jawaban ilmiah baru
bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan
menimbulkan problem-problem baru lagi. (7) Kritis, artinya tidak ada teori
ilmiah yang difinitif, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan kritis yang
memanfaatkan data-data baru. (8) Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai
perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis.
Aktivitas ilmiah
tergantung pada sarana ilmiah berupa bahasa, pernyataan ilmiah. Lyotard
mengajukan beberapa argumentasi yang disyaratkan bagi sebuah pernyataan ilmiah,
yaitu Pertama, diakuinya aturan-aturan yang telah ditentukan alat argumentasi,
yakni fleksibilitas sarana itu berupa pluralitas bahasannya. Kedua, karakternya
sebagai bentuk permainan pragmatis yakni diakuinya “gerak” yang berlangsung
tergantung pada suatu rangkaian kontrkak di antara para ilmuwan sebagai partner
dialog. Akibatnya ada dua jenis kemajuan yang berbeda dalam pengetahuan:
pertama, kesesuaian pada suatu gerak baru (argumen baru) di dalam aturan-aturan
yang pasti; kedua, menemukan aturan-atuaran baru yakni perubahan pada suatu
permainan baru.[8]
Hakekat ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dari 4
(empat) hal, yaitu:
1.
Sumber ilmu pengetahuan
Sumber ilmu pengetahuan
mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu pengetahuan
diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio).
Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme.
Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri
atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John
Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan
ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang
digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode
deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan
rasionalisme.
2.
Batas-batas Ilmu Pengetahuan
Menurut Immanuel Kant apa yang
dapat kita tangkap dengan panca indera itu hanya terbatas pada gejala atau fenomena, sedang substansi yang ada di
dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan panca indera disebut nomenon. Apa yang dapat kita tangkap
dengan panca indera itu adalah penting, pengetahuan tidak sampai disitu saja
tetapi harus lebih dari sekedar yang dapat ditangkap panca indera.
Yang dapat kita ketahui atau
dengan kata lain dapat kita tangkap dengan panca indera adalah hal-hal yang
berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan waktu adalah di
luar jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide regulatif: 1)
ide kosmologis yaitu tentang semesta alam (kosmos), yang tidak dapat kita
jangkau dengan panca indera, 2) ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak
dapat kita tangkap dengan panca indera, yang dapat kita tangkap dengan panca
indera kita adalah manifestasinya misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan
berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta
Semesta Alam.
3.
Struktur
Yang ingin mengetahui adalah
subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin kita ketahui adalah objek, diantara
kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi yang tajam. Namun
demikian sebenarnya dapat dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis demarkasi tidak tajam, karena
apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu salah, karena objek itu adalah
subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4.
Keabsahan
Keabsahan ilmu pengetahuan
membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah berarti membahas
kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan kebenaran itu adalah
suatu relasi. Kebenaran adalah kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya
ada korespondensi yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari
pernyataan yang diungkapkan dengan realita.
2.
Sifat Ilmu
Pengetahuan
Ciri umum dari kebenaran ilmu pengetahuan yaitu bersifat Rasional,
Empiris, dan Sementara.
Rasional artinya kebenaran itu ukurannya
akal. Sesuatu dianggap benar menurut ilmu apabila masuk akal. Sebagai contoh
dalam sejarah kita menemukan adanya bangunan Candi Borobudur yang sangat
menakjubkan. Secara akal pembangunan Candi Borobudur dapat dijelaskan,
misalnya bangunan tersebut dibuat oleh manusia biasa dengan menggunakan
teknik-teknik tertentu sehingga terciptalah sebuah bangunan yang megah.
Janganlah kita menjelaskan bahwa Borobudur dibangun dengan menggunakan
kekuatan-kekuatan di luar manusia, misalnya jin, sihir, setan, atau jenis
makhluk-makhluk lainnya. Kalau penjelasan seperti ini, maka sejarah bukanlah
sebagai ilmu pengetahuan.
Empiris artinya ilmu itu berdasarkan
kenyataan. Kenyataan yang dimaksud di sini yaitu berdasarkan sumber yang dapat
dilihat langsung secara materi atau wujud fisik. Empiris dalam sejarah yaitu
sejarah memiliki sumber sejarah yang merupakan kenyataan dalam ilmu sejarah.
Misalnya kalau kita bercerita tentang terjadinya Perang, maka perang itu
benar-benar ada berdasarkan bukti-bukti atau peninggalan-peninggalan yang
ditemukannya. Kemungkinan masih adanya saksi yang masih hidup, adanya
laporan-laporan tertulis, adanya tempat yang dijadikan pertempuran, dan
bukti-bukti lainnya.
Dengan demikian, cerita sejarah
merupakan cerita yang memang-memang empiris, artinya benar benar terjadi. Kalau
cerita tidak berdasarkan bukti, bukan sejarah namanya, tetapi dongeng yang
bersifat fiktif. Sementara artinya kebenaran ilmu pengetahuan itu tidak mutlak
seperti halnya kebenaran dalam agama. Kemutlakan kebenaran agama misalkan
dikatakan bahwa Tuhan itu ada dan memiliki sifat yang berbeda dengan
makhluknya. Ungkapan ini tidak dapat dibantah harus diyakini atau diimani oleh
manusia.
Lain halnya dengan ilmu
pengetahuan, kebenarannya bersifat Sementara, artinya dapat dibantah
apabila ditemukan teori-teori atau bukti-bukti yang baru. Dalam sejarah,
kesementaraan ini dapat dalam bentuk perbedaan penafsiran terhadap suatu
peristiwa. Perbedaan ini dapat diterima selama didukung oleh bukti yang akurat.
Kesementaraan inilah yang membuat ilmu pengetahuan itu berkembang terus.[9]
Sedangkan syarat ilmu Pengetahuan sebagaimana pendapat Dani Vardiansyah dalam
bukunya Filsafat Ilmu Komunikasi, bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi
tiga syarat, yaitu:[10]
1. Sistematik;
yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2. Objektif;
atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk
diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat
universal.
3. Dapat
dipertanggung jawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal,
dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain atau ahli-ahli lain.
Sebagai pandangan lain, syarat utama berdirinya sebuah ilmu pngetahuan
adalah bersifat umum-mutlak dan dapat memberi informasi baru. Teori ini dipakai
dikarenakan esensinya bisa dipandang uneversal aau memenuhi syarat kebenaran
inter-subjektif. Dan ilmu harus dibangun dan dikembangkan di atas tiga pondasi
utama yaitu data, teori/epistemologi dan nilai/etika.[11]
3.
Objek ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan untuk
mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu, yang diperoleh melalui
pendekatan atau cara pandang (approach), metode (method),dan sistem tertentu.
Objek ilmu pengetahuan itu ada yang berupa materi (objek
materi) dan ada yang berupa bentuk (objek formal). Objek materi adalah sasaran
material suatu penyelidikan,pemikiran, atau penelitian keilmuan bisa berupa
benda-benda material maupun yang nonmaterial,bisa pula berupa
hal-hal,masalah-masalah,ide-ide dan konsep-konsep.[12]
1. Objek
Material: seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu
ilmu.
2. Objek
Formal: objek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga
membedakan ilmu satu dengan ilmu lainnya,jika berobjek material lsama. Pada garis besarnya, objek ilmu pengetahu-an ialah
alam dan manusia.
Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa menurut
objek formalnya, ilmu pengetahuan itu justru berbeda-beda dan banyak jenis
serta sifatnya. Ada yang tergolong ilmu pengetahuan fisis (ilmu pengetahuan
alam), karena pendekatan yang dilakukan menurut segi yang fisis. Ada pula yang
tergolong ilmu pengetahuan non-fisis (ilmu pengetahuan sosial dan humaniora
serta ilmu pengetahuan Ketuhanan), Karena pendekatannya menurut segi kejiwaan.
Golongan pertama termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif, sedangkan
golongan kedua merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif.
4.
Sumber ilmu pengetahuan
Dalam hal ini ada beberapa pendapat mengenai sumber ilmu
pengetahuan diantaranya:
- Empirisme
Kata ini berasal dari Yunani Empirikos, yang
artinya pengalaman. Menrut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya dan bila dikembalikan kepada kata Yunani, pengalaman yang
dimaksud ialah pengalaman indrawi.[13]
- Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia
memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide
universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat
universal.Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari
benda-benda konkrit.[14]
- Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi
pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda
dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi)
memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu
pengetahuan yang langsung, yang mutlak.
Menurutnya, mengatasi sifat lahiriah pengetahuan
simbolis, yang pada dasarnya bersifat analis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa
dibantu penggambaran secara simbolis. Karena itu intuisi adalah sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika.[15]
- Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah
kepada manusia lewat perantara para nabi. Para nabi memperoleh dari Tuhan tanpa
upaya, tanpa bersusah payah. Pengetahuan mereka terjadi
atas kehendak Tuhan. Tuhan mensucikan jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran
dengan jalan wahyu.[16]
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para
nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia lainnya. Akal meyakinkan
bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan
ini memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal
ini memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali
menerima dan membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[17]
5.
Struktur Fundamental Ilmu
Pengetahuan
Dalam buku What is Science karya
Archei J. Bahm di dalam bukunya Muhammad Muslih bahwa secara umum membicarakan
enam komponen dari rancang bangun ilmu pengetahuan, artinya dengan enam
komponen itu, sesuatu itu bisa disebut ilmu pengetahuan, yaitu:[18]
a.
Adanya masalah
(problem)
Dalam persoalan
ini, Archei J. Bahm menjelaskan bahwa tidak semua masalah menunjukkan ciri
keilmiahan. Suatu masalah disebut masalah ilmiah jika memenuhi ‘persyaratan’,
yaitu bahwa masalah itu merupakan masalah yang dihadapi dengan sikap dan metode
ilmiah; Masalah yang terus mencari solusi; Masalah yang saling berhubungan
dengan masalah dan solusi ilmiah lain secara sistematis (dan lebih memadai
dalam memberikan pemahaman yang lebih besar). Untuk itu ia menawarkan, masalah
yang dapat dikomunikasikan dan capable, yang disuguhkan dengan sikap dan
metode ilmiah sebagai ilmu pengetahuan awal, sudah pantas dikatakan “masalah
ilmiah” (scientific problem).
b.
Adanya sikap
ilmiyah
Sikap ilmiah,
menurut Bahm paling tidak, meliputi enam karakteristik pokok, yaitu:
keingintahuan, spekulasi, kemauan untuk objektif, kemauan utnuk menangguhkan
penilaian, dan kesementaraan.
Pertama,
Keingintahuan; Yang
dimaksud di sini adalah keingintahuan ilmiah, yang bertujuan untuk memahami. Ia
berkembang dan berjalan terus sebagai perhatian bagi penyelidikan, penelitian,
pengujian, eksplorasi, petualangan dan eksperimentasi.
Kedua, Spekulatif
yang
penuh arti; Yaitu diawali dengan keingintahuan untuk mencoba memecahkan semua
masalah yang ditandai dengan beberapa usaha, termasuk usaha untuk menemukan
solusi, misalnya dengan mengusulkan satu hipotesa atau lebih. Artinya,
spekulasi adalah sesuatu hal yang disengaja dan berguna untuk mengembangkan dan
mencoba membuat berbagai hipotesa. Dengan demikian, spekulasi merupakan
karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah.
Ketiga, Kemauan untuk objektif
di sini Archei J. Bahm menjelaskan bahwa ‘objektifitas’ adalah salah satu jenis
sikap subjektif. Dalam arti bahwa objektifitas bergantung kepada eksistensinya,
tidak hanya eksistensi sebuah subyek, tetapi juga atas kemauan subyek untuk
memperoleh dan mengikuti sikap objektif, dalam arti sifat untuk memahami sifat
dasar objek itu sendiri, sejauh objek tersebut bisa dipahami dengan cara ini.
Keempat, Keterbukaan.
Maksud
sikap ini menyangkut kemauan untuk bersikap terbuka. Ini termasuk kemauan untuk
mempertimbangkan semua saran yang relevan dengan hipotesis, metodologi, dan
bukti yang berhubungan dengan masalah di mana seseorang bekerja. Sikap ini
harus dibarengi dengan sikap toleran, dan bahkan menerima ide-ide baru,
termasuk, tidak saja ide yang berbeda dengan ide-idenya, tetapi juga yang kontradiksi
atu yang berseberangan dengan kesimpulan-kesimpulannya.
Kelima, Kemauan,
untuk
menangguhkan penilain atau menunda keputusan. Bila penyelidikan tentang suatu
objek atau masalah tidak menghasilkan pemahaman atau solusi yang diinginkan,
maka seseorang tidak boleh menuntut jawaban yang lebih dari apa yang ia
peroleh. Sikap ilmiah menyangkut kemauan untuk menangguhkan penilaian sampai bisa
diperolehnya semua bukti yang diperlukan.
Keenam, Kesementaraan.
Sikap
kesementaraan akan selalu meragukan validitas suatu hipotesa termasuk
pengerjaannya, bahkan meragukan segala usaha ilmiah termasuk bidang keahlian
seseorang. Meskipun pengalaman perorangan dan kelompok cenderung membenarkan
keyakinan yang lebih kuat dan memandangnya sebagai kesimpulan.
c.
Menggunakan
metode ilmiyah
Sifat dasar
metode ilmiah ini, menurut Archei J. Bahm harus dipandang sebagai hipotesa
untuk pengujian lebih lanjut. “Esensi ilmu pengetahuan adalah metodenya”,
sedang sisi yang lain, “Berkenaan dengan sifat dasar metode ilmiah. Archei J.
Bahm berpendapat bahwa metode ilmiah itu adalah satu sekaligus banyak;
dikatakan satu karena metode ilmiah, dalam penerapannya tidak ada persoalan,
sedang dikatakan banyak, karena pada kenyataannya terdapat banyak jalan. Yaitu;
a). masing-masing ilmu mempunyai metodenya sendiri-sendiri, yang paling cocok
dengan jenis masalahnya sendiri. b). Setiap masalah particular memerlukan
metode uniknya sendiri. c). Secara historis, para ilmuwan dalam bidang yang
sama dalam waktu yang berbeda, memakai metode yang sama sekali berbeda,
lantaran berbeda dalam perkembangan teoritis dan temuan teknologis. d). Perkembangan
yang cepat dalam banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin lama
semakin saling bergantung dewasa ini, memerlukan perkembangan berbagai
metodologi baru yang cepat, berkenaan dengan jenis masalah yang lebih ruwet dan
dinamis. e). Siapa saja yang concern pada metode ilmiah harus mengakui
bahwa metode ini mempunyai tahapan-tahapan yang membutuhkan metode yang berbeda
pada setiap tahapannya.
Secara lebih
khusus, metode ilmiah meliputi lima langkah, yaitu 1) Menyadari akan
masalah; 2) Menguji masalah 3) Mengusulkan solusi 4) Menguji usulan atau proposal;
dan 5) Memecahkan masalah.
d.
Adanya aktifitas
Ilmu pengetahuan
adalah apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan, yang kemudian bisaa disebut
dengan “riset ilmiah”. Riset demikian mempunyai dua aspek: iindividu dan
social.
Aspek Individu; Ilmu pengetahuan
adalah suatu aktifitas yang dilaku-kan oleh orang-orang khusus. Aspek
Sosial; Aktivitas ilmiah mencakup lebih banyak dari apa yang dikerjakan
oleh para ilmuwan khusus.
e.
Adanya
kesimpulan
Ilmu pengetahuan
adalah pengetuan yang dihasilkan. Makanya ilmu pengetahuan sering dipahami
sebagai kumpulan pengetahuan. Ide-ide adalah ilmu pengetahuan itu sendiri.
kesimpulan pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah—adalah tujuan
ilmu pengetahuan. Kesimpulan adalah akhir atau tujuan yang membenarkan sikap,
metode, dan aktifitasnya sebagai cara-cara. Kesimpulan adalah ilmu yang
diselesaikan, bukan ilmu sebagai prospek atau dalam proses.
f.
Adanya pengaruh
Ilmu pengetahuan
adalah apa yang digarap oleh ilmu pengetahuan. Bagian apa yang digarap oleh
ilmu pengetahuan tersebut, kemudian menimbulkan pengaruh beraneka ragam, yang
dapat dihubungkan pada dua hal, yaitu; a). Pengaruh ilmu pengetahuan terhadap
teknologi dan industri, yang disebut ilmu terapan. b). pengaruh ilmu terhadap
atau dalam masyarakat dan peradaban.
C.
KESIMPULAN
Secara umum
dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu berurusan dengan fakta-fakta,
yakni informasi tentang dunia dan unsur-unsurnya yang diaggap sebaga fakta
keras dan dapat dianalisis.
Kata ilmu pengetahuan
berasal dari bahasa inggris science. Kata itu memiliki akarnya pada bahasa latin scientia
yang berarti pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan menawarkan sebuah pengetahuan dan bukan sekedar opini tanpa dasar. Jadi, Ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau teori yang
saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian secara kritis
dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan
demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sebagai obyek ilmu
pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya berdasarkan
pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara seperti observasi,
eksperimen, survey, studi kasus, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang
tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian
ditentukan relasi antara data-data, diantaranya relasi kausalitas.
Konsepsi-konsepsi dan relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang
merupakan suatu keseluruhan yang terintegratif.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan sebagai konsep
awal dalam memahami filsafat ilmu dengan segala keterbatasan, kami berharap
juga bisa ikut membantu dalam mencerdaskan generasi bangsa.
Wallahu a'lamu
bi as-Shawab
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali:Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Pustaka
Setia: Bandung.
Bertens,
K. 1989. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Gramedia: Jakarta.
Dani,Vardiansyah.
Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks: Jakarta.
Daoed,
Joesoef. 1987. Pancasila Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan, dalam Pancasila
sebagai orientasi Pengembangan Ilmu, PT Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat:
Yogyakarta.
Dep.Dik.Bud. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Balai Pustaka, Jakarta.
Mustafa,
H.A. 1997. Filsafat Islam,
Pustaka Setia:
Bandung.
Meslen,
Van. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Gramedia: Jakarta.
Muslih,
Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka teori Ilmu Pengetahuan, Belukar: Yogyakarta.
Mustansyir,
Rizal. 2006. Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Runes.
1975. Dictionary of Philosophy. New
Jersey.
Sifat-sifat ilmu pengetahuan http://id.shvoong.com/socialsciences/education/2070
Sontag.
1987. Element og Philosophy. Charles Schibner’s Son: New York.
Suriasumantri, Jujun. 1998. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar
Populer,
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Salam, Burhanuddin. 1987. Logika Materiil Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Renika Cipta:
Jakarta
Surajiyo.
Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar, PT Bumi Aksara: Jakarta. 2005
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007
Wattimena,
Reza. 2008. Filsafat dan Science Sebuah Pengantar. Grasindo: Jakarta.
Wahyudi, Imam.
2007. Pengantar Epistemologi, Badan Penerbitan Filsafat UGM: Yogyakarta.
[1] Reza A. A
Wattimena, Filsafat dan Science Sebuah Pengantar, Grasindo: Jakarta,
2008. hlm. 105.
[2] Jujun S,
Suriasumantri. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar
Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1998), hal 39
[3] Dep.Dik.Bud. 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 231. Baca juga: Burhanuddin Salam, Logika Materiil
Filsafat Ilmu Pengetahuan, Renika Cipta, Jakarta hlm. 104
[4] K. Bertens. Susunan
Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat
Ilmu, Gramedia, Jakarta, 1989 H. 16
[5] Sontag, Element
og Philosophy, Charles Schibner’s Son, new York, 1987. hlm. 141.
[6] Daoed Joesoef, “Pancasila
Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan”, dalam Pancasila sebagai orientasi
Pengembangan lmu, PT Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat: Yogyakarta, 1987,
hlm. 25-26.
[7] Van Meslen, Ilmu
Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Gramedia:Jakarta, 1985, hlm. 65-66.
[8] Rizal
Mustansyir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006, hlm. 142.
[10] Vardiansyah,
Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008.
Hlm. 8.
[11] H. Saeful Anwar,
Filsafat Ilmu Al-Ghazali:Dimensi Ontologi dan Aksiologi,Pustaka Setia,
Bandung, 2007. Hlm. 89.
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007. Hal.24
[15] Burhanuddin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Renika Cipta, Jakarta.
hlm. 102
[16] Burhanuddin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, PT. Renika Cipta,
Jakarta hlm.103.
[17] H.A. Mustafa, Filsafat
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet.1 Hal.106. Baca juga : Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi,
Badan Penerbitan Filsafat UGM, Yogyakarta. hlm. 50
[18] Muhammad Muslih,
Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka teori Ilmu
Pengetahuan, Belukar: Yogyakarta, 2004, hlm. 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar