Senin, 24 Desember 2012

TAFSIR SUFI



 MAKALAH



Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah Studi Al – Qur’an yang dibina
oleh : Dr. H. Aminullah, M.Ag
            Dr. Hamid Pujiono. M.Ag.



 











Oleh :


IDA RAHMAWATI
NIM : 084 911 0150



PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
DESEMBER 2011

I.                    PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan penengetahuan, karena dalam al-Qur’an sendiri memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas.
Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya.
Untuk itu dalam makalah ini, penulis akan mengangkat sekilas tentang masalah tafsir perspektif orang golongan ahli sufi atau aliran tasawuf
Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal nabi Muhammad SAW.
Praktik seperti terus berkembang pada masa berikutnya. Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan alqur’an sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.




II.                 PEMBAHASAN


A.  Pengertian Tafsir Shufi
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi.1 Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al isyari.

B.  Sejarah lahirnya Tafsir Shufi
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”

Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untukmenjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati.2 Tidak heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Qur’an.
Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Qur’an. Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata”.3 Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa bisa mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash Al-Qur’an dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir isyari4, yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’anlah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan di sinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang dilakukan oleh kaum Bathiniyah.5 Dengan dalih bahwa di balik makna zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99)(
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَى يَاْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ). Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban bagnya”.6
Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum bathiniyah. Dan para sufi mencela penafsiran seperti itu. Walaupun mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun para sufi merasa bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah; Pertama karena penafsiran mereka diperoleh mengalau kasyaf.7 Kedua, karena mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan kaum Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena itu, yakni karena berbeda dengan kaum Bathiniyah, sehingga tafsir sufi steril dari bias sectarian? Masalah ini perlu dielaborasi lebih lanjut.

C. Sekilas tentang Sufisme
Untuk dapat mengetahui serta mengelaborasi corak serta bias sectarian dalam tafsir sufi. Perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang sufisme. Karena, tafsir sufi pada dasarnya adalah tafsir yang dikemukakan oleh para sufi, dan para sufi menjadi sufi karena sufisme. Sufisme atau tasawuf8 adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan tentang bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Intisari dari Sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah SWT dengan mengasingkan diri dan berkontempelasi. Sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan dengan Tuhan, sehingga seseorang sadar betul baha ia berada di hadirat Tuhan.
Ada banyak variasi cara dan jalan yang diperkenalkan para ahli sufisme untuk memperoleh tujuan tersebut. Mereka menyebutnya dengan istilah maqamat, yaitu stasiun-stasiun yang harus dijalani para sufi untuk sampai ke tujuan mereka. Dari sekian banyak versi maqamat, yang biasa disebut ialah: tobat-zuhud-sabar-tawakkal-ridha. Kelima stasiun itu harus ditempuh secara bertahap. Untuk berpindah dari satu stasiun ke stasiun berikutnya diperlukan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Terkadang seorang sufi harus menyelami satu stasiun selama bertahan-tahun sebelum akhirnya ia merasa mantap dan dapat berpindah ke stasiun berikutnya.
Mengenai bentuk hubungan dengan Allah SWT, yang menjadi tujuan para sufi, ada dua buah pendapat utama; monoisme dan dualisme. Para penganut aliran monoisme berpendapat baha tahap puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat manunggal/ monolitik, hubungan ini dapat mengambil bentuk hulul, ittihad atau wihdat al-wujud.9 Para penganut aliran dualisme berpendapat bahwa hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat dulistik. Seorang sufi bisa jadi akan sangat dekat dengan Tuhan, sehingga tidak ada lagi dinding pemisah antara dia dengan Tuhan, namun dia tetaplah dia dan Tuhan tetaplah Tuhan. Bagi aliran dualisme, puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhannya adalah al-Qurb (kedekatan).
Untuk menguraikan jalan dan tujuan sufisme ini, para ahli tasawwuf menempuh dua jalan yang berbeda. Ada yang menggunakan Al-Qur’an dan al-Hadits, dan ada pula yang menggunakan filsafat. Penganut aliran dualisme umumnya menggunakan yang pertama, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf sunni. Sedangkan penganut aliran monoisme umumnya menggunakan yang kedua, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf filosofi.10
Mahmud Basuni Faudah, menyebut kedua macam aliran tasawwuf tersebut dengan isitilah tasawwuf teoritis dan tasawwuf praktis. Tasawwuf teoritis adalah tasawwuf yang didasarkan pada pengamatan, pembahasan dan pengkajian, dan karena itu mereka menggunakan filsafat sebagai saranya. Sedangkan tasawwuf praktis adalah tasawwuf yang didasarkan pada kezuhudan dan asktisme, yakni banyak berzikir dan latihan-latihan keruhanian. Menurut Faudah, para penganut kedua aliran ini mendekati Al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Karena itu, produk penafsirannya pun relative berbeda. Ia membedakan keduanya dengan istilah tafsir sufi nazhari dan tafsir dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi teoritis seperti Ibn ‘Arabi. Sedangkan tafsir sufi Isyari adalah produk sufi praktis seperti Imam al-Naysaburi, al-Tustari, dan Abu Abdurrahman al-Sulami.11
Sangatlah menarik untuk membandingkan lebih jauh tentang sufi Nazhari dengan tafsir sufi Isyari ini. Hal ini, mengingat masing-masing memiliki karakter tersendiri. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi nota bene membangun ajaran sufisme di atas landasan filsafat. Karena itu, sangatlah mungkin ada bias filsafat di dalam tafsir aliran tersebut. Sedangkan tafsir sufi isyari adalah produk para sufi menganut teologi Asy’ariyah,12 sehingga besar kemungkinan ada bias Asy’ariyah di dalam tafsir tersebut. Dan sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh makalah ini, asumsi-asumsi tersebut terbukti benar.




D. Bias Filsafat Dalam Tafsir Sufi Nazrani
Upaya untuk menemukn bias filsafat dalam tafsir sufi Nazhari, telah dilakukan oleh Mahmud Basuni Faudah. Ia berhasil menunjukkan beberapa penafsiran Ibn ‘arabi yang menjadi bukti bahwa tafsir batin yang dikemukakannya mengandung bias filsafat. Ibn ‘arabi sendiri adalah seorang sufi yang sangat terpengaruh oleh pandangan wihdah al-wujud dan filsafat emanasi.
Bias filsafat terlihat ketika Ibn ‘Arabi menafsirkan surat Maryam ayat 57 (QS.19:57) ( وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًا ) yang secara zahir berarti: “Dan Kami angkat martabatnya (Idris a.s.) ke tempat yang tinggi”. Menurut Ibnu ‘Arabi, tempat yang tinggi adalah tempat beredarnya ruh, alam, dan falak-falak (benda-benda langit) yaitu falak matahari. Disitulah kedudukan ruhani nabi Idris a.s. Di baahnya terdapat tujuh falak dan di atasnya juga tujuh falak. Tujuh falak yang ada di atas falak Idris as.
Adalah tempatnya umat Muhammad saw. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh filsafat emanasi yang mengajarkan bahwa alam ini terjadi dari pancaran akal pertama yang kemudian membentuk falak-falak yang bertingkat-tingkat.13
Bias faham wihdah al-wujud terlihat ketika Ibn ‘arabi menafsirkan surat al-Nisa ayat 1 (QS.4:1) (يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ) . Secara sahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini sebagai pengejawantahan (ego apresiasi) dari ego potensial yang merupakan Dzat Tuhan yang hakiki.

E. Bias Asyhariyah Dalam Tafsir Sufi Isyari
Di samping pengaruh-pengaruh di atas, dalam kitab-kitab tafsir sufi Isyari, bias sectarian juga nampak terlihat. Tafsir-tafsir tersebut umumnya membela teologi Asy’ariyah. Muhammad Husayn al-Zahabi misalnya, menyebutkan secara gamblang dalam bukunya, al-Tafsir wa al-Mufasirun, bahwa al-Naysaburi ketika menafsirkan Al-Qur’an, banyak menceburkan diri dalam perdebatan teologi sebagai pembela Asy’ariyah. Al-Zahabi mencontohkan penafsiran al-Naysaburi atas surat al-An’am ayat 25 (QS. 6:25) yaitu :
( وَجَعَلْنَا عَلىَ قُلُوبِهِمْ اَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ ).
Ayat tersebut artinya: “Dan Kami jadikan atas hati mereka penutup untuk memahaminya”. Menurut al-Nasaburi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memalingkan iman dan menengahi antara seorang hamba dengan hatinya. Kaum Mu’tazlah berupaya memalingkan ayat ini dari makaha zaharnya, karena tidak sesuai dengan akidah mereka. Lalu al-Naysaburi memaparkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah. Setelah itu, ia mematahkan satu persatu, sambil membela kaum Asy’ariyah.14
Contoh lain, dapat dikemukakan dalam tafsir Ruh al-Ma’ani, karya al-alusi. Al-alusi menolak pendapat Mu’tazilah dan mempertahankan Asy’ariyah, ketika ia menafsirkan surat al Kahfi ayat 29 QS. 18:29) : ( فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ) yang berarti “Barangsiapa yang ingin beriman, beirmanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah!”. Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini, karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan ayat 30 (QS. 76:30). (وَمَاتَشَاؤُونَ إِلاَّ أنْ يَشَاءَ اللهُ ). Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Demikianlah menurut al-Alusi.15
F. Kitab-kitab Tafsir Shufi
1.         Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
2.         Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
3.         Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).

III. KESIMPULAN

1.      Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2.      .Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari.
3.      Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4.      Tafsir sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqani, Muhammad Abd Al-Azim, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986)
Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:
Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M) juz II cet. II h.104
Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)
Al-Surbasi, ahmad, Qissah Al-Tafsir, (Beirut: Dar Al-Jayl, 1988)
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami, sufi dari Zaman ke Zaman
, (Bandung; Penerbit Pustaka, 1997)
Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut; Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung Penerbit Pustaka, 1987)
Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun ayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assasah Tiba’iyah Nasyr Wizarah Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1415 H).
Nasution Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1999)
Sab’I al-Masani, (Beirut: Dar Ihya Turas al-‘Arabi, t.th)
Solihn, M. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf,
(Bandung: pustaka Setia, 2003)
Thabathaba’I, Alammah M.H., Islam Syiah Asal Usul dan Perkembangan,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)




Minggu, 23 Desember 2012

Sejarah Filsafat


Ibrahim

BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah tertulis berisi rekaman yang sangat sporadis dan tidaklah lengkap, demikian Gordon Childe menulis, “tentang apa yang telah manusia lakukan oleh di pelbagai belahan dunia selama lima ribu tahun terakhir”. Idealnya sejarah ialah rekaman tentang semua rentetan peristiwa yang telah terjadi, dan yang berfungsi sebagai pengungkap segala sesuatu sesuai dengan fakta yang ada tanpa distorsi sedikitpun, tapi pada kenyataannya, sejarah hanya mengungkap sebagian rentetan peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari rekayasa yang biasanya dilakukan oleh penguasa politik.
Meskipun fenomena semacam ini pernah terjadi, tetapi hal ini tidak bisa dianggap sebagai persoalan remeh bahkan harus diluruskan, karena menyangkut dan mempengaruhi warna kehidupan generasi selanjutnya sebagai aktor sejarah berikutnya. Apalagi sejarah yang dimaksud adalah tentang ilmu pengetahuan yang merupakan faktor penting di dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh serta tanggung jawab moral dan akademik dalam upaya pemaparan sejarah.
Sebelum memaparkan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, penulis harus mengungkap sekilas tentang perbedaan antara pengetahuan dan ilmu agar tidak terjebak pada kesalahpahaman mengenai keduanya, sehingga pembaca bisa memahami dengan benar apa yang dimaksud dengan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dalam makalah ini. Ilmu adalah bagian dari unsur pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat dikatakan, pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada pengetahuan, tapi tidak serta merta berarti bahwa semua ilmu adalah pengetahuan.

BAB II
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

A.    Ilmu Pengetahuan Zaman Purba
Secara garis besar, Amsal Bakhtiar mengklasifikasikan periode sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode : pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer. Periodeisasi ini mengandung tiga kemungkinan. Yang pertama, menafikan adanya pengetahuan yang tersistem sebelum zaman Yunani kuno. Kedua, tidak adanya data historis tentang adanya ilmu sebelum zaman Yunani kuno yang sampai pada kita. Ketiga, Bakhtiar sengaja tidak mengungkapnya dalam bukunya. Jika kemungkinan pertama yang terjadi, maka informasi dari teks-teks agama tentang nama-nama yang dia ketahui, Adam misalnya, tidak termasuk ilmu tetapi hanya pengetahuan belaka. Apabila kemungkinan kedua yang benar, maka bukan berarti pengetahuan yang tersistem hanya ditemukan dan dimulai pada zaman Yunani kuno, tetapi ia sudah ada sebelumnya hanya saja informasinya tidak sampai pada kita. Tapi, jika kemungkinan ketiga yang berlaku, maka penulis perlu mengungkapnya meskipun hanya sekilas karena keterbatasan referensi yang ada pada penulis.
Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat disusur sampai pada permulaan manusia. Tidak diragukan lagi bahwa adanya manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk bisa mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal juga dengan masa pra-sejarah. Menurut Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, masa sejarah dimulai kurang lebih 15.000 sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini pengetahuan manusia berkembang lebih maju. Mereka sudah mulai bisa membaca, menulis, dan berhitung. Kebudayaan mereka juga berkembang di berbagai tempat tertentu, yaitu : Mesir, Tiongkok, Babilonia, Niniveh, Inca dan Maya di Amerika Tengah. Mereka sudah bisa menghitung dan mengenal angka. Meski agak berbeda dengan pendapat tersebut, Muhammad Husain Haekal (1888-1956) berpendapat lebih spesifik bahwa sumber peradaban sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu (berarti sekitar 4000 SM) adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan ke dalam kategori prasejarah. Oleh karena itu, sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai permulaan zaman sejarah dan zaman pra-sejarah, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu telah lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi, hanya saja penamaan biasanya muncul belakangan. Penekanan akan kegunaan cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya. Teori ini berlaku secara umum terhadap beberapa -untuk tidak dikatakan semua- disiplin ilmu dari generasi ke generasi. Dengan berbekalkan otak, pengalaman, dan pengamatan terhadap gejala-gejala alam, mereka sudah barang tentu memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi kehidupan. Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin tersusun rapi karena memang inilah karakteristik dasar ilmu. Jika kita menafikan adanya ilmu tertentu yang mereka miliki, maka kita akan kesulitan menjawab pertanyaan : mungkinkah mereka mampu bertahan hidup bertahun-tahun tanpa bekal apapun ?.
Selanjutnya Mouly menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai berikut ini : Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat pada lembaran sejarah dilakukan oleh Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi setiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan Hindu yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak se-insentif kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu, muncul bangsa Yunani yang menitik-beratkan pada pengorganisasian ilmu, di mana mereka bukan saja menyumbang perkembangan ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif akan pengalaman manusia.

Peradaban Mesir kuno misalnya, mewariskan peninggalan-peninggalan bermutu tinggi seperti piramida, kuil, dan sistem penatanan kota. Peninggalan-peninggalan tadi tidaklah mungkin ada tanpa adanya ilmu yang mereka miliki. Proses pembangunan piramida yang menjulang tinggi dan tersusun dari batu-batu besar pilihan tidak bisa lepas dari matematika dan arsitektur. Begitu pula dengan proses pembangunan kuil megahnya. Sementara itu, sistem penataan kota membutuhkan arsitektur & administrasi pemerintahan. Dengan kata lain, peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut menunjukkan adanya ilmu-ilmu tertentu yang mereka miliki sehingga mereka bisa mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan. Menurut Haekal, Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama ke Yunani atau Rumawi.
Sementara itu, menurut Betrand Rusell, Babilonia melahirkan beberapa hal yang tergolong ilmu pengetahuan, yaitu : pembagian hari menjadi 24 jam, lingkaran menjadi 360 derajat, penemuan siklus gerhana yang memungkinkan terjadinya gerhana bulan bisa diramalkan dengan tepat dan gerhana matahari dengan beberapa perkiraan. Pengetahuan bangsa Babilonia akhirnya sampai ke tangan Thales, seorang filosof Yunani.
B.     Ilmu Pengetahuan Zaman Yunani Kuno
Yunani kuno sangat identik dengan filsafat. Saat kata Yunani disebut, maka yang terbersit di pikiran para peminat kajian keilmuan dapat dipastikan adalah filsafat. Padahal filsafat di dalam pengertian yang sederhana sudah ada jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat berharga sekali bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu beraneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang. Sehingga wajar saja bila generasi-generasi setelahnya merasa berhutang budi, termasuk juga umat Islam di abad pertengahan masehi bahkan hingga sekarang. Tanpa mengkaji warisan filsafat Yunani rasanya sulit bagi umat Islam kala itu merengkuh zaman keemasannya. Begitu juga orang Barat tanpa mengkaji pengembangan filsafat Yunani yang dikembangkan oleh umat Islam rasanya sulit bagi mereka membangun kembali peradaban mereka yang pernah mengalami masa-masa kegelapan menjadi sangat maju / mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya seperti sekarang ini.
Periode filsafat Yunani merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Dan dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filsuf alam pertama yang mengkaji asal-usul alam adalah Thales (624-546 SM), setelah itu Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos (540-480 SM), Parmenides (515-440 SM), dan Phytagoras (580-500). Thales, yang dijuluki bapak filsafat, berpendapat bahwa asal alam ialah air. Menurut Anaximandros substansi pertama itu bersifat kekal, tak terbatas dan meliputi segalanya yang dinamakan apeiron, bukan air ataupun tanah. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah. Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang dengan Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas adalah keseluruhan yang utuh bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar di dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika.

Jadi setiap filosof memiliki pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta. Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justeru merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pendapat mereka mengilhami generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian muncul beberapa filosof Sofis sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan mereka terhadap jawaban dari para filosof alam dan mengalihkan penelitian mereka dari alam ke manusia. Bagi mereka, manusia adalah ukuran kebenaran sebagaimana diungkapkan oleh Protagoras (481-411 SM), tokoh utama mereka. Pandangan ini merupakan cikal bakal humanisme. Menurutnya, kebenaran bersifat subyektif dan relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan dia tidak menganggap teori matematika mempunyai kebenaran absolut. Selain Protagoras ada Gorgias (483-375 SM). Menurutnya, penginderaan tidak dapat dipercaya. Ia adalah sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta karena akal kita telah diperdaya dilema subyektifitas. Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka tidak memberikan jawaban final tentang etika, agama, dan juga metafisika.
Pandangan para filosof Sofis tersebut disanggah oleh para filosof yang setelahnya, yakni Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran obyektif itu dengan menggunakan metode praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Menurutnya, kebenaran universal bisa ditemukan. Bagi Plato, esensi memiliki realitas yang ada di alam ide. Kebenaran umum ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam ide. Filsafat Yunani klasik mengalami puncaknya di tangan Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis (etika, ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah yang lantas menjadi pedoman bagi klasifikasi disiplin ilmu di kemudian hari.
C.    Ilmu Pengetahuan Zaman Islam Klasik
Ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, fiqih, usul fiqih, dan teologi sudah berkembang sejak masa-masa awal Islam hingga sekarang. Khusus dalam bidang teologi, Muktazilah dianggap sebagai pembawa pemikiran-pemikiran rasional. Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Pemikiran ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).
W. Montgomery menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Ada sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di Jundisyapur, pusat belajar yang terpenting, melahirkan dokter-dokter istana Harun al-Rashid dan para penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak semacam inilah, para khalifah dan para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan agar menerjemahkan sejumlah buku penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt al-Hikmah, sebuah lembaga khusus penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, ada banjir penerjemahan besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad sembilan dan sebagian besar abad kesepuluh.

Buku-buku matematika dan astronomi adalah buku-buku yang pertama kali diterjemahkan. Al-Khawarizmi (Algorismus) adalah tokoh penting dalam bidang matematika dan astronomi. Istilah algorisme diambilkan dari namanya. Dia memberi landasan untuk aljabar, dari istilah “algebra” yang diambil dari judul karyanya. Karya-karyanya adalah rintisan pertama di bidang aritmatika yang menggunakan cara penulisan desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab. Al-Khawarizmi dan penerusnya menghasilkan metode-metode untuk menjalankan operasi-operasi matematika yang secara aritmatis mengandung berbagai kerumitan, misalnya mendapatkan akar kuadrat dari satu angka. Di antara ahli matematika yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah al-Nayrizi atau Anaritius (w. 922 M) dan Ibn al-Haytham atau Alhazen (w. 1039 M). Ibn Haytham menentang teori Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan bahwa sinar visual memancar dari mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan kebalikannya bahwa cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di dalam bidang astronomi, al-Battani (Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang luar biasa akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan observasi-observasinya tentang gerhana telah digunakan untuk tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun 1749 M. Selain al-Battānī, ada Jābir ibn Afla (Geber) dan al-Bitruji (Alpetragius). Jābir ibn Afla dikenal karena karyanya di bidang trigonometri sperik. Di bidang astronomi dan matematika, ada juga Maslamah al-Majriti (w. 1007 M), Ibn Samh, dan Ibn Saffar. Ibn Abi Rijal (Abenragel) di bidang astrologi.
Dalam bidang kedokteran ada Abū Bakar Muammad ibn Zakariyyā al-Razi atau Rhazes (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M) , Ibn Sina atau Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M), Abu Qasim al-Zahrawi (Abulcasis), dan Ibn Zuhr atau Avenzoar (w. 1161 M). Al-Hawi karya al-Razi merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia menyertakan pandangan-pandangan dari para pengarang Yunani, Syiria, India, Persia, dan Arab, dan kemudian menambah catatan hasil observasi klinisnya sendiri dan menyatakan pendapat finalnya. Buku Canon of Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abu Qasim -Zahrawi tentang operasi (pembedahan) dan alat-alatnya merupakan sumbangan yang berharga dalam bidang kedokteran.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Hayyan (Geber) dan al-Biruni (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Hayyan memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.
Dalam bidang botani, zoologi, mineralogi, karya orang Arab mencakup gambaran dan daftar berbagai macam tanaman, binatang, dan batuan. Beberapa di antaranya memiliki kegunaan praktis, yakni ketika karya tersebut dihubungkan dengan bidang farmakologi dan perawatan medis.
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Bajah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Tufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing. Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.
D.    Ilmu Pengetahuan Zaman Renaisance dan Modern
Michelet, sejarahwan terkenal, ialah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan lain biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Memang agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern. Bisa dikatakan abad pertengahan berakhir kala datangnya zaman renaisans. Sebagian orang menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans. Masa renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu : humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains berkembang karena semangat dan juga hasil empirisisme, sementara Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.
Tokoh penemu di bidang sains pada masa renaisans (abad 15-16 M): Nicolaus Copernicus (1473-1543 M), Johanes Kepler (1571-1630 M), Galileo Galilei (1564-1643 M), dan Francis Bacon (1561-1626 M). Copernicus menemukan teori heliosentrisme, yaitu matahari adalah pusat jagad raya, bukan bumi sebagaimana teori geosentrisme yang dikemukakan oleh Ptolomeus (127-151). Menurutnya, bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari. Teori ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta, terutama astronomi. Kepler adalah ahli astronomi Jerman yang terpengaruh ajaran Copernicus. Dialah yang menemukan bahwa orbit planet berbentuk elips; bahwa planet bergerak cepat bila berada di dekat matahari dan lambat bila jauh darinya. Galileo adalah ahli astronomi Italia yang melakukan pengamatan teleskopik dan mengukuhkan gagasan Copernicus bahwa tata surya berpusat pada matahari. Inkuisi takut akan penemuannya dan memaksanya meninggalkan studi astronominya. Dia juga berjasa dalam menetapkan hukum lintasan peluru, gerak, dan percepatan. Dialah penemu planet Jupiter yang dikelilingi oleh empat buah bulan.
Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern (abad 17-19 M): Sir Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph Black (1728-1799 M), Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J. Thompson. Newton adalah penemu teori gravitasi, perhitungan calculus, dan optika yang mendasari ilmu alam. Pada masa Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika, fisika, dan astronomi. Pada periode selanjutnya ilmu kimia menjadi kajian yang amat menarik. Black adalah pelopor dalam pemeriksaan kualitatif dan penemu gas CO2. Prestley menemukan sembilan macam hawa No dan oksigen yang antara lain dapat dihasilkan oleh tanaman. Lavoiser adalah peletak dasar ilmu kimia sebagaimana kita kenal sekarang. J.J. Thompson menemukan elektron. Dengan penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom adalah bahan terkecil dan mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika yaitu fisika nuklir. Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara pada abad ke-19 lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu zaman kontemporer.

BAB III
P E N U T U P

Tabel di atas belum mencakup semua ilmu pengetahuan, karena menurut Jujun Suriasumantri, ilmu pengetahuan dewasa ini telah berkembang menjadi sekitar 650 cabang. Di samping sudah ada pemberdayaan antara ilmu-ilmu alam atau natural science dengan ilmu-ilmu sosial, dikenal pula dengan pembedaan ilmu dan ilmu terapan. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, menurut Chalmers, diperkirakan sejak 400 tahun yang lalu, yaitu sejak Copernicus, Galileo, Kepler, dan yang lebih jelas lagi sejak Francis Bacon pada abad ke-15 dan 16 sebagai ahli filsafat ilmu yang mengemukakan perlunya suatu metode dalam mempelajari pengalaman. Bacon menekankan bahwa eksperimen dan observasi yang intensif merupakan landasan perkembangan ilmu.
Fakta-fakta di atas menunukkan bahwa perkembangan ilmu tidak bisa dilepaskan dari rasa keingintahuan yang besar diiringi dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh melalui penalaran, percobaan, penyempurnaan, dan berani mengambil resiko tinggi sehingga menghasilkan penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi suatu generasi dan menjadi acuan pertimbangan bagi generasi selanjutnya untuk mengoreksi, menyempurnakan, mengembangkan, dan menemukan penemuan selanjutnya. Faktor-faktor inilah yang kemudian menjadi pemacu bagi pesatnya perkembangan ilmu yang melatarbelakangi semakin cepatnya penemuan dalam bidang teknologi yang kadang membuat sebagian orang terlena karenanya sehingga tidak sadar bahwa sebagian ilmu yang disalahgunakan bisa menjadi ancaman serius bagi kehidupan mereka.
Poin penting yang perlu dicatat di sini adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan pengembangan moral-spiritual manusianya, karena sebagaimana kita tahu, perkembangan ilmu pengetahuan selain berdampak positif, ia juga berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positifnya adalah semakin mempermudah kehidupan manusia, sementara dampak negatifnya adalah semakin mengancam kehidupan mereka. Oleh karena itu, agar tatanan kehidupan manusia di dunia ini tetap lestari, maka perkembangan ilmu mesti diiringi dengan pengembangan moral-spiritual manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu tanpa pengembangan moral-spiritual bisa menjadi ancaman bagi kehidupan manusia seperti yang bisa kita rasakan akhir-akhir ini yang berupa penyalahgunaan teknologi nuklir. Demikian pula pengembangan moral-spiritual tanpa diiringi perkembangan ilmu bisa menjadikan sebagian manusia kurang kreatif seperti yang terjadi pada orang Kristen pada zaman kegelapan Eropa. Dengan kata lain, antara otak dan hati harus mendapatkan porsi perhatian yang seimbang. Sejarah sudah membuktikannya. Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki validitas kebenaran yang tinggi sehingga layak dijadikan bahan untuk mengambil pelajaran (ibrah).

Footnote
[1]Gordon Childe, What Happened in History (Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975), 13.
[2]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 16-17.
[3]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 35-39.
[4]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 21-129.
[5]George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1991), 87.
[6]Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi Offset Yogya, 2007), 117.
[7]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996), 1.
[8]George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, 87.
[9]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 1.
[10]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 6.
[11]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 21-23.
[12]Ibid., 23-27. Lihat juga: Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 48-49.
[13]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 27-28.
[14]Ibid., 29-31.
[15]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), 257.
[16]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 43.
[17]Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), 7.
[18]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), 44-45.
[19]Ibid., 47-50.
[20]Ibid., 51-52.
[21]Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan pengaruh Abū Bakar Muammad ibn Zakariyyā al-Rāzī bisa dibaca dalam: Lenn E. Goodman, “Muammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), 243-265.
[22]W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, 52-56.
[23]Ibid., 57-58.
[24]Ibid., 58.
[25]Ibid., 60-61.
[26]Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), 209-210.
[27]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang, 567.
[28]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra, 125-126 dan Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 49-50.
[29]Ibid., 126.
[30]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 51-52.
[31]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 58.
[32]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 55.
[33]Ibid., 57-62.
[34]Ibid., 68-71.
[35]Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, 202.
[36]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 79.
[37]Ibid., 76-77.
[38]Henry Margenau dan David Bergamini, The Scientist (New York: Time Inc., 1964), 86-99, yang diolah oleh Jujun Suriasumatri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1991), 14-15.
[39]Soetriono dan SDRm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, 120.
Bibliografi

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Childe, Gordon. What Happened in History. Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975.
E. Goodman, “Muammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. Bandung: Mizan, 2003.
Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman. Bandung: Mizan, 2003.
Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
Jasin, Maskoeri. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri. Jakarta: Gramedia, 1991.
O. Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998.
Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Soetriono. dan SDRm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset Yogya, 2007.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Watt, W. Montgomery. Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.