Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu
Yang dibina oleh Dr. Ahidul Asror;
M.Ag.
Oleh:
IDRIS MAHMUDI, Amd.Kep; S.Pd.I.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
STAIN JEMBER
Desember,
2011
A. Prolog.
Oliver Leaman menyatakan, salah jika filsafat islam hanya nukilan
filsafat Yunani (Aristoteles saja).(Sholeh, 2004 : xv). Memang sains, filsafat
dan peradaban islam bukan hanya terwarnai oleh Yunani, namun juga oleh Persia dan India. Namun, kondisi internal
muslim saat itu juga memberikan andil dalam perkembangan filsafat pengetahuan
di zaman klasik yang merupakan zaman keemasan islam. Pemikiran rasional-filosofis islam lahir bukan
dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, Al-Qur’an. (Sholeh,
2004 : xviii).
Hakikat manusia adalah hewan
yang berfikir.( Sholeh, 2004 : 90), oleh karena itu berfikir merupakan
aktivitas yang mulia bagi manusia, lebih-lebih Islam sangat menganjurkan proses
berfikir. Sebuah hadis qudsi yang sangat terkenal ”Kuntu kanzan makhfiyyan
fa ahbabtu an u’rofa fakholaqtul kholqo likay u’rofa” (Aku adalah
perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku suka untuk dikenali, maka Kuciptakan
mahluk agar Aku dapat dikenali) menjadi pemicu pemikiran filsafat. (Sholeh,
2004 : 77). Hal inilah yang
menjadi spirit awal perkembangan filsafat pengetahuan islam di zaman klasik.
Berfikir rasional telah berkembang pada masa ini (dinasti Bani Abbasiyah) yaitu
pada fikih (Yurisprudensi) dan kalam (teologi). Bahkan dalam teologi doktrin
Mu’tazilah menjadi doktrin resmi negara. (Sholeh, 2004 : xvii). Pada zaman
Abbasiyah ini (terutama masa Kholifah Al-Makmun) gerakan filsafat pengetahuan
islam begitu berkembang dengan adanya proyek transliterasi, bahkan dikatakan
tidak ada zaman yang melampaui dari itu dari segala hal. Proyek harmonisasi
antara filsafat Yunani dengan Islam dimulai oleh Al-Kindi (keturunan Arab),
dilanjutkan Al-Farobi (keturunan Turki), dan disempurnakan oleh Ibnu Sina
(keturunan Suriah).(Hitti, 2010 : 464).
B. Pembahasan.
1. Al-Kindi (801-873 M).
''Al-Kindi adalah salah
satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,'' cetus sarjana Italia Geralomo Cardano (1501-1575
M). Asy'ats bin Qais, kakeknya Al-Kindi
dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Nama Aslinya Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq berasal
dari Kindah, kemudian terkenal dengan Al-Kindi adalah filosof muslim yang
pertama. Ia digelari filosof bangsa Arab. (Hitti, 2010 : 463). Ia menganut
aliran Mu’tazilah.(Nasution, 2008 : 6). Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam
Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode
khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma'mun (813-833), Al-Mu'tasim,
Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam
menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru
dan tabib kerajaan.
Pemikiran filsafat Al-Kindi
merupakan ekletisme dari Plato dan Aristoteles (Neo-Platonis) serta
Neo-Pythagorean. Ia bukan hanya filosof, tapi ahli perbintangan, kimia, ahli
mata dan musik, karyanya sebanyak 361 buah. (Hitti, 2010 : 463). Menurut Ibnu
Nadim karya Al-Kindi berjumlah 241 dalam filsafat, logika, ilmu hitung,
astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan
sebagainya. (Nasution, 2008 : 6). Karya-karya Al-Kindi diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa
abad di barat setelah ia meninggal dunia. Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai
aliran pemikiran resmi kerajaan,(menggantinya dengan faham Asy-’Ariyah)
Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya.
Dalam pemikirannya, pengetahuan dibagi dalam 2
bagian :
a.
Pengetahuan Ilahi (Divine Science), yaitu pengetahuan langsung yang
diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b. Pengetahuan manusiawi (Human Science)
atau filsafat, dasarnya adalah pemikiran.
Filsafat adalah pengetahuan
tentang yang benar (knowledge of truth) sehingga menurutnya hakikat
tujuan filsafat sama dengan agama. Baginya menolak filsafat sama dengan menolak
kebenaran, bahkan orang yang menolak filsafat dikatakan ”kafir”. Oleh karena
itu Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan
agama. Selain itu, pengetahuan juga dibagi 2,
pengetahuan panca indera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera
meliputi yang lahir saja, dan dalam fase ini pengetahuan manusia dengan binatang
dianggap sama. Pengetahuan akal adalah proses perenungan atau berpikir lebih
dalam lagi. (Nasution, 2008 : 9). Daya untuk berpikir disebut akal, yang
meliputi :
a. Akal yang bersifat potensial.
b. Akal yang bersifat aktual.
c. Akal tingkat kedua setelah aktualitas.
2. Al-Farobi (870-950 M).
Nama Lengkap beliau Abu Nashr
Muhammad bin Muhammad ibnu Tarkhan bin Auzalagh Al-Farobi, di barat dikenal
Alpharabius. Lahir di Farob
propinsi Transoxiana, Turkistan pada 257 H / 870 M. Al-Farobi digelari Al-Mu’allim
tsani (guru ke-2 setelah Aristoteles). (Hitti, 2010 : 464). Konsep filsafat
Al-Farobi dikenal dengan Marotib Al-Maujudat (hirarkis wujud) dalam mabadi’
yang dibagi 4 tingkatan wujud. Hierarki wujud menurut
al-Farabi adalah sebagai berikut :
- Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
- Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
- Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
- Benda-benda bumi (teresterial).
Ia juga ahli musik terbesar dalam
sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang masih dapat didengarkan
dalam perbendaharaan lagu sufi musik India. Orde Maulawiyah dari Anatolia masih
terus memainkan komposisinya sampai sekarang.
Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Filsafat Al-Farobi meramu dari :
- Teori sebab pertama Aristoteles.
- Teori ide Plato.
- Teori cosmos Ptolomeus.
- Teori jiwa kognitif Stoa. (Sholeh, 2004 : 68).
Al-Farobi dikenal
sebagai ahli logika yang masyhur dan
juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang
mengusahakan keharmonisan antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya
untuk itu dua. Pertama pengadaan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan
Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir
rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan al-Farabi berpendapat bahwa
Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah nabi-nabi yang tidak disebutkan
namanya dalam al-Quran. Konsep Al-Faidl (emanasi) Al-Farobi
dianggap Neo-Platonis, oleh karena itu Al-Ghozali (1058-1111 M) menggugat
pemikiran Yunani yang diusung Al-Farobi dan Ibnu Sina lewat karyanya At-Tahafut
Falasifah, bahwa tidak sesuai dengan ajaran islam dan bisa menyebabkan
penganutnya menjadi kufur. At-Tahafut Falasifah diselesaikan oleh
Al-Ghozali pada 11 Muharom 488 H / 21 Januari 1095 M dengan membahas 20
persoalan filsafat yang bid’ah, bahkan 3 diantaranya dinilai kufur bagi
penganutnya. Kritik Al-Ghozali terhadap Al-Farobi diulangi lagi dalam karyanya Al-Munqidzu
minadz dholal. (Sholeh, 2004 : xxi dan xxx). Dia seorang penganut islam
Syi’ah yang menganut paham tertentu mengenai adanya imam (Syai’ah imamiyah
istna asyariyah).(Syam, 2010 : 59). Kritik terhadap Al-Farobi juga muncul
terhadap teori emanasinya yang hanya memancar dalam 11 tingkat. Teori emanasi
yang hanya berjalan 11 tingkat, mungkin terdoktrin Syiah Imamiyah. (Sholeh,
2004 : 74).
Pasca karya Al-Ghozali (At-Tahafut
Falasifah) gerakan anti filsafat begitu luas dan berpengaruh, sehingga Ibnu
Rusydi membendung dengan mengcounter karya Al-Ghozali tersebut dengan buku
karyanya At-Tahafut Tahafut (1126-1198). (Sholeh, 2004 : xxiii). Namun
pengaruh Al-Ghozali terlanjur akut, lahirlah gerakan mistisisme yang menggusur
tradisi ilmiah dalam sains, hingga peradaban islam, tradisi pengetahuan islam
klasik mundur dan kemudian hancur. Kehancuran ini adalah salah satu faktor
internal saja bagi umat islam di timur, selain faktor eksternal (serangan
Mongol yang menghancurkan peradaban dan membakar buku-buku karya ilmuwan dan
filosof muslim).
Daya berpikir menurut Al-Farobi terdiri dari 3
tingkat : akal potensial (material intellect), akal aktual (actual
intellect), akal mustafad (acquired intellect).
Beberapa karya Al-Farobi.
Di bidang logika :
- Risalah Shudiro Bihal Kitab (risalah yang dengannya kitab berawal).
- Risalah Fi Jawab Masail Suila Anha (risalah tentang jawaban atas pertanyaan yang diajukan tentangnya).
Di bidang Fisika :
- Syarhu Kitab As-sama’ At- Thobi’i li Aristutalis (komentar atas fisika Aristoteles).
- Syarhu Kitab as-sama’ wal alam li Aristutalis (bahasan atas kitab Aristoteles tentang langit dan alam raya).
Di bidang Metafisika :
- Fushusul Hikam (permata kebijaksanaan).
- Kitab fil Wahid wal Wahdah (kitab tentang yang satu dan yang maha Esa).
Metafisika,
menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama : 1. Bagian yang
berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi. 2. Bagian yang
berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya
memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar
daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala
sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi. 3.
Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.
Di bidang Politik :
- kitab Aro’ Ahlul Madinah al-Fadilah (kitab tentang opini penghuni kota ideal).
- kitab As-Siyasat Al-madinah (kitab tentang pemerintahan negara kota).
- kitab Al-Millat al-Fadilah (kitab tentang komunitas utama).
- kitab Ihsho ul Ulum (kitab tentang pembagian ilmu. (Sholeh, 2004 : 61).
3. Ibnu Sina. (980-1037 M).
Nama lengkap Ibnu Sina adalah
Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an,
sebagian sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles,
setelah membacanya 40 kali. Ketika berumur 17 tahun ia pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur
sehingga pulih kembali kesehatannya. Ibnu Sina merupakan murid al Farabi (secara tidak langsung), jadi tidak
mengherankan apabila banyak pemikiran yang memiliki kesamaan antara pemikiran
Ibnu Sina dengan al Farabi. Di Barat dia dikenal dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina), diberi gelar “the
Prince of the Physicians”, sedang di timur diberi gelar Al-Syaikh- al-Rais.
Karya – karya Ibnu Sina yang
ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-Isyarat
wat-Tanbihat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa.
tentang tasawuf karyanya Al-Isyarat wat-Tanbihat. Selain dari itu, karyanya yang paling masyhur
adalah Al-Qanun fith Thib (di barat terkenal dengan sebutan Canon
of Medicine) yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan
hingga kini. Ia
mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Ibnu Sina sebagai orang pertama yang
menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian
disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan
bahwa bayi selama masih dalam kandungan
mengambil makanannya lewat tali pusarnya.
Menurut faham filsafat Ibnu Sina, daya akal pada
manusia mempunyai tingkatan :
a. Akal materiil
yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun
sedikitpun.
b.
Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk
berfikir tentang hal - hal abstrak.
c.
Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal
abstrak.
d.
Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal -
hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Terkait pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina,
Al-Ghozali melancarkan kritik yang terbagi ke dalam 3 kategori :
a. Filsafat – filsafatnya
yang harus dipandang kufur.
b. Filsafat – filsafatnya
yang menurut Islam adalah bid’ah.
c. Filsafat – filsafatnya
yang sama sekali tak perlu disangkal.
Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut
adalah : Pertama, bahwa Allah
hanya mengetahui hal – hal yang besar – besar dan tidak mengetahui hal – hal
yang kecil - kecil(particular). Kedua, bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa
permulaan (qodim). Ketiga, bahwa di akhirat kelak yang dihimpun
adalah ruh manusia bukan jasadnya. Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau
existentialisasi dari filosof - filosof lain. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina
meninggal dan dikuburkan di Hamazan.
C. Epilog.
Memang terlalu singkat, sempit
dan sederhana coretan ini untuk bisa meng-eksplorasi serta mendiskripsikan
pemikiran-pemikiran filosof muslim diatas. Namun setidaknya tulisan ilmiah yang
diajukan sebagai tugas makalah program pasca sarjana di STAIN Jember ini semoga
bisa sedikit mengobati dahaga spiritual dan sains kita yang nantinya memberi
spirit untuk merebut kembali ilmu islam yang telah hilang, merebut ilmu islam
yang ternyata saat ini dicuri barat dari tokoh-tokoh muslim zaman dulu, zaman
puncak kejayaan islam dinasti bani Abbasiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah,
Dar al-Ma’arif, 1957. Mesir.
Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bulan
Bintang, 1984. Jakarta.
DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004 : 83 – 100.
Hitti, Philip P. History of the Arabs, PT Serambi
Ilmu Semesta, 2010. Jakarta.
Nasution, Harun. Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, 2008. Jakarta.
Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat, PT Bumi
Aksara, 2010. Jakarta.
Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, PT Raja Grafindo
Persada, 2009. Jakarta.
Sholeh, A Khudori. Warna Baru
Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, 2004. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar