Minggu, 23 Desember 2012

FILSAFAT PENGETAHUAN ISLAM KLASIK (AL-KINDI, AL-FAROBI DAN IBNU SINA)



Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu
Yang dibina oleh Dr. Ahidul Asror; M.Ag.


 


Oleh:
IDRIS MAHMUDI, Amd.Kep; S.Pd.I.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
STAIN JEMBER
Desember, 2011



A. Prolog.
Oliver Leaman menyatakan, salah jika filsafat islam hanya nukilan filsafat Yunani (Aristoteles saja).(Sholeh, 2004 : xv). Memang sains, filsafat dan peradaban islam bukan hanya terwarnai oleh Yunani, namun juga oleh Persia dan India. Namun, kondisi internal muslim saat itu juga memberikan andil dalam perkembangan filsafat pengetahuan di zaman klasik yang merupakan zaman keemasan islam. Pemikiran rasional-filosofis islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, Al-Qur’an. (Sholeh, 2004 : xviii).
Hakikat manusia adalah hewan yang berfikir.( Sholeh, 2004 : 90), oleh karena itu berfikir merupakan aktivitas yang mulia bagi manusia, lebih-lebih Islam sangat menganjurkan proses berfikir. Sebuah hadis qudsi yang sangat terkenal ”Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u’rofa fakholaqtul kholqo likay u’rofa” (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku suka untuk dikenali, maka Kuciptakan mahluk agar Aku dapat dikenali) menjadi pemicu pemikiran filsafat. (Sholeh, 2004 : 77). Hal inilah yang menjadi spirit awal perkembangan filsafat pengetahuan islam di zaman klasik. Berfikir rasional telah berkembang pada masa ini (dinasti Bani Abbasiyah) yaitu pada fikih (Yurisprudensi) dan kalam (teologi). Bahkan dalam teologi doktrin Mu’tazilah menjadi doktrin resmi negara. (Sholeh, 2004 : xvii). Pada zaman Abbasiyah ini (terutama masa Kholifah Al-Makmun) gerakan filsafat pengetahuan islam begitu berkembang dengan adanya proyek transliterasi, bahkan dikatakan tidak ada zaman yang melampaui dari itu dari segala hal. Proyek harmonisasi antara filsafat Yunani dengan Islam dimulai oleh Al-Kindi (keturunan Arab), dilanjutkan Al-Farobi (keturunan Turki), dan disempurnakan oleh Ibnu Sina (keturunan Suriah).(Hitti, 2010 : 464).
B. Pembahasan.
1. Al-Kindi (801-873 M).
''Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,'' cetus sarjana Italia Geralomo Cardano (1501-1575 M). Asy'ats bin Qais, kakeknya Al-Kindi dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Nama Aslinya Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq berasal dari Kindah, kemudian terkenal dengan Al-Kindi adalah filosof muslim yang pertama. Ia digelari filosof bangsa Arab. (Hitti, 2010 : 463). Ia menganut aliran Mu’tazilah.(Nasution, 2008 : 6). Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma'mun (813-833), Al-Mu'tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.
Pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan ekletisme dari Plato dan Aristoteles (Neo-Platonis) serta Neo-Pythagorean. Ia bukan hanya filosof, tapi ahli perbintangan, kimia, ahli mata dan musik, karyanya sebanyak 361 buah. (Hitti, 2010 : 463). Menurut Ibnu Nadim karya Al-Kindi berjumlah 241 dalam filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. (Nasution, 2008 : 6). Karya-karya Al-Kindi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad di barat setelah ia meninggal dunia. Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran pemikiran resmi kerajaan,(menggantinya dengan faham Asy-’Ariyah) Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya.
Dalam pemikirannya, pengetahuan dibagi dalam 2 bagian :
a. Pengetahuan Ilahi (Divine Science), yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b. Pengetahuan manusiawi (Human Science) atau filsafat, dasarnya adalah pemikiran.
Filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth) sehingga menurutnya hakikat tujuan filsafat sama dengan agama. Baginya menolak filsafat sama dengan menolak kebenaran, bahkan orang yang menolak filsafat dikatakan ”kafir”. Oleh karena itu Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama. Selain itu, pengetahuan juga dibagi 2, pengetahuan panca indera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera meliputi yang lahir saja, dan dalam fase ini pengetahuan manusia dengan binatang dianggap sama. Pengetahuan akal adalah proses perenungan atau berpikir lebih dalam lagi. (Nasution, 2008 : 9). Daya untuk berpikir disebut akal, yang meliputi :
a. Akal yang bersifat potensial.
b. Akal yang bersifat aktual.
c. Akal tingkat kedua setelah aktualitas.
2. Al-Farobi (870-950 M).
Nama Lengkap beliau Abu Nashr Muhammad bin Muhammad ibnu Tarkhan bin Auzalagh Al-Farobi, di barat dikenal Alpharabius. Lahir di Farob propinsi Transoxiana, Turkistan pada 257 H / 870 M. Al-Farobi digelari Al-Mu’allim tsani (guru ke-2 setelah Aristoteles). (Hitti, 2010 : 464). Konsep filsafat Al-Farobi dikenal dengan Marotib Al-Maujudat (hirarkis wujud) dalam mabadi’ yang dibagi 4 tingkatan wujud. Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai  berikut :
  1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
  2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
  3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
  4. Benda-benda bumi (teresterial).
Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India. Orde Maulawiyah dari Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang.  Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Filsafat Al-Farobi meramu dari :
  1. Teori sebab pertama Aristoteles.
  2. Teori ide Plato.
  3. Teori cosmos Ptolomeus.
  4. Teori jiwa kognitif Stoa. (Sholeh, 2004 : 68).
Al-Farobi dikenal sebagai ahli logika yang masyhur  dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama pengadaan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan al-Farabi  berpendapat bahwa Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah nabi-nabi yang tidak disebutkan namanya dalam al-Quran. Konsep Al-Faidl (emanasi) Al-Farobi dianggap Neo-Platonis, oleh karena itu Al-Ghozali (1058-1111 M) menggugat pemikiran Yunani yang diusung Al-Farobi dan Ibnu Sina lewat karyanya At-Tahafut Falasifah, bahwa tidak sesuai dengan ajaran islam dan bisa menyebabkan penganutnya menjadi kufur. At-Tahafut Falasifah diselesaikan oleh Al-Ghozali pada 11 Muharom 488 H / 21 Januari 1095 M dengan membahas 20 persoalan filsafat yang bid’ah, bahkan 3 diantaranya dinilai kufur bagi penganutnya. Kritik Al-Ghozali terhadap Al-Farobi diulangi lagi dalam karyanya Al-Munqidzu minadz dholal. (Sholeh, 2004 : xxi dan xxx). Dia seorang penganut islam Syi’ah yang menganut paham tertentu mengenai adanya imam (Syai’ah imamiyah istna asyariyah).(Syam, 2010 : 59). Kritik terhadap Al-Farobi juga muncul terhadap teori emanasinya yang hanya memancar dalam 11 tingkat. Teori emanasi yang hanya berjalan 11 tingkat, mungkin terdoktrin Syiah Imamiyah. (Sholeh, 2004 : 74).
Pasca karya Al-Ghozali (At-Tahafut Falasifah) gerakan anti filsafat begitu luas dan berpengaruh, sehingga Ibnu Rusydi membendung dengan mengcounter karya Al-Ghozali tersebut dengan buku karyanya At-Tahafut Tahafut (1126-1198). (Sholeh, 2004 : xxiii). Namun pengaruh Al-Ghozali terlanjur akut, lahirlah gerakan mistisisme yang menggusur tradisi ilmiah dalam sains, hingga peradaban islam, tradisi pengetahuan islam klasik mundur dan kemudian hancur. Kehancuran ini adalah salah satu faktor internal saja bagi umat islam di timur, selain faktor eksternal (serangan Mongol yang menghancurkan peradaban dan membakar buku-buku karya ilmuwan dan filosof muslim).
Daya berpikir menurut Al-Farobi terdiri dari 3 tingkat : akal potensial (material intellect), akal aktual (actual intellect), akal mustafad (acquired intellect).
Beberapa karya Al-Farobi.
Di bidang logika :
  1. Risalah Shudiro Bihal Kitab (risalah yang dengannya kitab berawal).
  2. Risalah Fi Jawab Masail Suila Anha (risalah tentang jawaban atas pertanyaan yang diajukan tentangnya).
Di bidang Fisika :
  1. Syarhu Kitab As-sama’ At- Thobi’i li Aristutalis (komentar atas fisika Aristoteles).
  2. Syarhu Kitab as-sama’ wal alam li Aristutalis (bahasan atas kitab Aristoteles tentang langit dan alam raya).
Di bidang Metafisika :
  1. Fushusul Hikam (permata kebijaksanaan).
  2. Kitab fil Wahid wal Wahdah (kitab tentang yang satu dan yang maha Esa).
Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama : 1. Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi. 2. Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi. 3. Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.
Di bidang Politik :
  1. kitab Aro’ Ahlul Madinah al-Fadilah (kitab tentang opini penghuni kota ideal).
  2. kitab As-Siyasat Al-madinah (kitab tentang pemerintahan negara kota).
  3. kitab Al-Millat al-Fadilah (kitab tentang komunitas utama).
  4. kitab Ihsho ul Ulum (kitab tentang pembagian ilmu. (Sholeh, 2004 : 61).
3.      Ibnu Sina. (980-1037 M).
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles, setelah membacanya 40 kali. Ketika berumur 17 tahun ia pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Ibnu Sina merupakan murid al Farabi (secara tidak langsung), jadi tidak mengherankan apabila banyak pemikiran yang memiliki kesamaan antara pemikiran Ibnu Sina dengan al Farabi. Di Barat dia dikenal dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina), diberi gelar “the Prince of the Physicians”, sedang di timur diberi gelar Al-Syaikh- al-Rais.
Karya – karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-Isyarat wat-Tanbihat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. tentang tasawuf karyanya Al-Isyarat wat-Tanbihat. Selain dari itu, karyanya yang paling masyhur adalah Al-Qanun fith Thib (di barat terkenal dengan sebutan Canon of Medicine) yang  merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini. Ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Ibnu Sina sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama  masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.
Menurut faham filsafat Ibnu Sina, daya akal pada manusia mempunyai tingkatan :
a.     Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b.    Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
c.     Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d.    Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Terkait pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina, Al-Ghozali melancarkan kritik yang terbagi ke dalam 3 kategori :
a.     Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.
b.     Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah bid’ah.
c.     Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.
Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah : Pertama, bahwa Allah hanya mengetahui hal – hal yang besar – besar dan tidak mengetahui hal – hal yang kecil - kecil(particular). Kedua,            bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa permulaan (qodim). Ketiga,       bahwa di akhirat kelak yang dihimpun adalah ruh manusia bukan jasadnya. Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.
C. Epilog.
Memang terlalu singkat, sempit dan sederhana coretan ini untuk bisa meng-eksplorasi serta mendiskripsikan pemikiran-pemikiran filosof muslim diatas. Namun setidaknya tulisan ilmiah yang diajukan sebagai tugas makalah program pasca sarjana di STAIN Jember ini semoga bisa sedikit mengobati dahaga spiritual dan sains kita yang nantinya memberi spirit untuk merebut kembali ilmu islam yang telah hilang, merebut ilmu islam yang ternyata saat ini dicuri barat dari tokoh-tokoh muslim zaman dulu, zaman puncak kejayaan islam dinasti bani Abbasiyah.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Dar al-Ma’arif, 1957. Mesir.
Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bulan Bintang, 1984. Jakarta.
DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004 : 83 – 100.
Hitti, Philip P. History of the Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, 2010. Jakarta.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, 2008. Jakarta.
Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat, PT Bumi Aksara, 2010. Jakarta.
Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, PT Raja Grafindo Persada, 2009. Jakarta.
Sholeh, A Khudori. Warna Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, 2004. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar